Surat cinta Motinggo
PDS HB Jassin tidak
sekadar menjadi ”gudang” karya sastra, tetapi juga dinamika kehidupan
para pelaku sastra dari zaman ke zaman. Jassin memang rajin
mengumpulkan tulisan tangan, catatan kecil dan surat-surat yang ditulis
para penulis. Surat pernyataan Motinggo Boesje yang asli dengan judul
”Saya Menolak Hadiah Sastra 1962” masih tersimpan di PDS HB Jassin.
Surat
pernyataan yang ditulis bulan Januari 1953 itu berisi penolakan
Motinggo atas hadiah sastra yang diberikan untuk cerita pendeknya.
Menurut dia, ukuran keberhasilan karya sastra tidak dapat diukur dari
penghargaan-penghargaan yang diperoleh.
Kisah hidup penulis
flamboyan ini juga terungkap dari catatan-catatan kecil yang dikirimkan
Mas Mot (panggilan untuk Motinggo Boesje) kepada beberapa perempuan.
Dalam catatan itu, Mas Mot menulis puisi cinta lengkap dengan lukisan
sketsa ketika sedang rindu, menyesal, atau kangen kepada sang kekasih.
Mari
kita baca puisi Motinggo Boesje yang juga ditulis tangan, lengkap
dengan ilustrasi bunga-bunga. Kita kutip bait pertama dan terakhir dari
puisi karya novelis, cerpenis, dan sutradara itu. Di bawah puisi itu
tertera angka tahun 1988.
”Inilah buah indah rasa
bersalah/Penyesalan ibarat memindah dua gunung/Masih saja membayang
tangismu pagi itu/Air matamu membasuh hati yang berdebu...”
”Sudahlah. Kesekian kali kumohon maafmu/Matamu bagaikan malam dengan dua lampu.”
Jassin
menyimpan naskah-naskah yang dikirimkan para pengarang ini dengan
takzim, seolah itu amanat yang tidak bisa diabaikan. Sungguh ironis jika
kemudian kita membiarkannya tanpa arti, bahkan menganggapnya sebagai
coretan berdebu tak bermakna. Dan pengelola PDS HB Jassin, Endo
Senggono, mengaku belum semua naskah asli itu disimpan dalam bentuk
digital. ”Belum. Masih dalam map begitu saja,” katanya.
Tidak
hanya karya sastra. Jassin juga menyimpan dokumen, seperti undangan
perkawinan Motinggo dengan Lashmi Bachtiar pada 2 September 1962. Pada
keterangan ”Djam” dan tempat tertulis: ”Djam 12.00 s/d 15.00 siang di
Djalan Salemba Tengah II No 7 Djakarta”. Nama Motinggo dalam undangan
tertulis sebagai Bustami Djalid. Di belakang nama itu tercantum nama
senimannya, Motinggo Busje (ejaan sesuai dengan aslinya).
HB
Jassin tidak hanya menyimpan, tetapi juga mencatat dengan sangat detail
peristiwa berkait dengan sastra dan para pelakunya. Kita tengok
bagaimana sepotong kehidupan Pramudya Ananta Toer tercatat dalam buku
harian.
Pada hari Kamis 1 Maret 1954, misalnya, HB Jassin menulis,
kunjungan Pramudya Ananta Toer pada pukul 19.30-20.15 di rumah Jassin.
Pramudya yang baru pulang dari Blora, Jawa Tengah, ini membawa naskah
cerita perjalanan. Dari catatan harian itu tergambar dinamika kehidupan
penulis Pramudya atau Pram pada masa lalu. Ceritanya, Pram sedang
butuh uang segera. Ia sudah memasukkan tulisan perjalanan ke majalah
Mimbar, tetapi majalah itu tidak bisa segera membayar honornya. Tulisan
Pram itu dirasa Jassin cocok untuk majalah Zenith, tetapi majalah ini
sering terlambat terbit.
Setidaknya kita bisa merekonstruksi,
betapa pilihan hidup sebagai pengarang seperti Pram penuh dengan
kenyataan pahit. Sesungguhnya celaka jika nasib dokumentasi mereka pun
kini kita abaikan.
Merana
Dokumen
kebudayaan itu tersimpan di antara buku-buku sastra, prosa dan puisi,
naskah drama, catatan biografi, tulisan tangan, dan surat-menyurat
sastrawan besar di Tanah Air. Sebagian dokumen tersimpan di rak yang
berderet memenuhi ruangan, sebagian lagi dibiarkan menumpuk begitu saja.
Tumpukan
koran dan majalah tua berjubel di sela-sela rak buku yang sudah tidak
muat lagi menyimpan tambahan koleksi. Kondisinya berdebu. Kertasnya
sudah lapuk dan berwarna kuning kecoklatan. Benda-benda itu seperti
benda bekas yang sudah usang. Sementara di dalamnya tersimpan jejak
sejarah yang mencerminkan cara berpikir intelektual kita pada masa lalu.
Di
antara tumpukan tadi masih bisa ditemukan majalah yang terbit di
Indonesia pada awal Perang Dunia II (tahun 1940), seperti Pujangga Baru
dan Panji Pustaka. Ada juga majalah Jawa Baru dan Kebudayaan Timur yang
terbit di Indonesia pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945.
Koleksi lain yang lebih tua, seperti Kumpulan Sastra Melayu Tionghoa
terbitan tahun 1900-1940, tersimpan di dalam sebuah lemari kaca.
Dengan
ribuan buku, suasana pusat budaya itu sangat pengap. ”Sudah biasa
kalau pengatur suhu udara di sini dimatikan. Dulu ketika pertama kali
pusat dokumentasi ini resmi didirikan tahun 1977, enam bulan kemudian
kami tidak mampu membayar listrik sehingga AC harus dimatikan total,”
kata Harkrisyati Kamil atau Yati, yang pernah menjadi Kepala
Dokumentasi PDS HB periode 1979-1983 mengenang.
Agar suhu di
ruang dokumentasi tidak panas, Yati dan teman-temannya selalu membuka
jendela lebar-lebar, lalu menyalakan kipas angin. ”Untungnya, waktu
gedung itu dibangun, saya minta Pemerintah DKI Jakarta membuatkan
jendela-jendela berukuran besar,” tutur Yati. Menurut Yati, gedung PDS
HB Jassin yang dibangun pada masa Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI
Jakarta itu awalnya dirancang tanpa jendela.
Dirintis
Pusat
Dokumentasi Sastra HB Jassin dirintis oleh penulis, penyunting, dan
kritikus sastra almarhum Hans Bague (HB) Jassin. Penulis kelahiran
Gorontalo, 13 Juli 1917, ini mengumpulkan dokumentasi sejak tahun 1930.
Pada waktu ia masih berusia 13 tahun, HB Jassin gemar menyimpan
buku-buku harian, buku-buku sekolah, karangan-karangan yang pernah
ditulis di kelas, hingga surat dan foto pribadinya.
Kini pusat
dokumentasi itu menyimpan 16.316 judul buku fiksi, 11.990 judul buku
nonfiksi, 457 judul buku referensi, 772 judul buku/naskah drama, 750 map
berisi biografi pengarang, 15.552 map kliping dari berbagai sumber,
610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan
disertasi, serta 732 kaset rekaman suara dan 15 kaset rekaman video dari
para sastrawan Indonesia. Jumlahnya terus bertambah karena pengelola
selalu memperbanyak koleksi. Boleh dibilang, PDS HB Jassin adalah pusat
dokumentasi sastra modern Indonesia terlengkap. Bahkan, ada yang
menyebutnya terlengkap di dunia, tetapi kenapa nasibnya begitu
mengenaskan?
edit : heru (Lusiana Indriasari/Luki Aulia/Putu Fajar Arcana/Frans Sartono)http://oase.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar